Ketika dua orang bertemu, merasa cocok satu sama lain, terdapat kesamaan, langkah selanjutnya mereka akan berkencan. Menghabiskan waktu bersama untuk beberapa waktu, kemudian menjadi pasangan. Sabotase dalam hubungan itu hampir pasti terjadi.
Hingga satu diantaranya berhenti membalas pesan seperti biasanya, membatalkan janji saat ingin bertemu, menghindar ketika diajak berbicara, dan sering membesar-besarkan masalah. Pasangan dari individu ini akan merasa frustasi, kecewa, bahkan marah karena hal ini.
Pada akhirnya, mereka berpisah. Karena si pembuat masalah sibuk dengan masalahnya sendiri, dan membuat satunya menjadi frustasi dan berpikir bahwa hubungan ini sudah tidak bisa dipertahankan.
Kasus di atas merupakan contoh dari self-sabotaging dalam hubungan romantis.
Lalu, apa self-sabotage itu?
Self-sabotage merujuk ke perilaku atau pun pola pikiran ketika seseorang menahan atau pun mencegah untuk melakukan apa yang ingin dilakukan.
Banyak alasan mengapa seseorang melakukan self-sabotage pada dirinya sendiri. Biasanya, alasan tersebut memiliki konteks spesifik. Salah satu alasan utama seseorang melakukan self-sabotage karena takut akan keintiman.
Setiap orang menginginkan dan membutuhkan suatu keintiman. Namun orang-orang dengan pengalaman tertentu di masa lalu—akibat pola asuh orang tua, masa kanak-kanak, tahun saat remaja, hubungan asmara pertama—menganggap keintiman sebagai suatu hal negatif, karena faktor-faktor pengalaman buruk di masa lalu.
Sehingga, hal ini mengarahkan pelaku self-sabotage melakukan perilaku “tarik-dan-ulur”, mengarah kepada putusnya sebuah hubungan atau menjadi bentuk penghindaran.
Faktor-faktor penyebab self-sabotage
Terdapat beberapa hal berkontribusi besar sebagai penyebab seseorang melakukan self-sabotage, seperti:
- Pola yang dipelajari di masa kecil
Menurut Dr. Joseph seorang psikoterapi, mengutip dari laman Healthline, pola pada masa kecil biasanya sering berulang dalam hubungan di masa akan datang dan sepanjang hidup.
Dr. Joseph mencontohkan ketika ada orang tua tidak pernah memperhatikan anaknya kecuali mereka marah. Oleh karena itu, di hubungan berikutnya, anak ini akan berusaha untuk membuat orang lain marah untuk mendapatkan perhatian.
- Dinamika pada hubungan di masa lalu
Ketika seseorang merasa tidak didukung dan tidak didengar ketika meminta suatu hal yang dibutuhkan di hubungan masa lalu, pada hubungan berikutnya, akan sulit bagi mereka untuk mengkomunikasikan secara efektif terkait hal serupa.
Akan sulit bagi mereka dengan pengalaman hubungan seperti ini untuk mengkomunikasikan perasaan di hubungan selanjutnya. Hasilnya, mereka tidak belajar untuk mengadvokasi akan kebutuhan diri sendiri.
Hubungan saat ini berbeda dan tidak memiliki kaitan pada hubungan sebelumnya, namun akan menjadi hal sulit untuk keluar dari pola berulang ini.
- Takut akan kegagalan
Sebagai contoh nyata dari takut akan kegagalan ini adalah ketika seseorang memiliki hubungan baru, dengan pola berbeda dari hubungan sebelumnya.
Karena perbedaan ini, seseorang secara tidak sadar membuat sebuah pemikiran bahwa hubungan ini tidak akan bertahan lama, karena terlalu tenang dan indah untuk dijalani. Tinggal menunggu waktu kapan ini akan berakhir.
Karena tidak ingin menghadapi akhir, perlahan seseorang akan mundur, menutup diri secara emosional dan memulai pertengkaran dengan pasangan. Secara umum, hal ini terjadi karena dalam pikiran termotivasi untuk mewujudkan kegagalan, sehingga ketika itu terjadi, itu merupakan hal wajar dan akan dimaklumi.
Ketika menghindari sebuah kegagalan, secara langsung telah menutup kesempatan untuk mencoba. Jika tidak mencoba, tidak akan ada kegagalan.
Sehingga, seseorang akan melakukan self-sabotage agar hal tersebut tidak terjadi.
- Kebutuhan akan kendali
Perilaku self-sabotage juga dapat berkembang sebagai kebutuhan untuk mengendalikan sebuah situasi. Ketika seseorang merasa punya kendali, mereka akan merasa aman, kuat, dan siap untuk menghadapi apapun.
Pada contoh kasus dalam sebuah hubungan, seseorang terbuka secara emosional menyebabkan rasa rentan. Dengan menyimpan semua perasaan yang ada, akan membuat seseorang merasa lebih aman.
Pada akhirnya, hal ini tidak bagus untuk kesehatan emosional atau kualitas hubungan. Namun hal itu tetap dilakukan karena membantu seseorang untuk tetap memegang kendali saat merasa rentan.